makalah sosiologi tafsir (masyarakat)

Makalah
MASYARAKAT
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Sosiologi Tafsir
Dosen pengampu : IrzumFarihah, S.Ag, M.Si






Oleh:
M Zainu Nuri            : 1530110093
Khoirul Anam           :1530110087

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IQT)
JURUSAN USHULUDDIN/IQT 3C
STAIN KUDUS
2016


PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah
Masyarakat adalah suatau kelompok manusia yang terorganisir dan hidup bersama dalam suatu daerah, islam sendiri pun muncul untuk memperbaiki dan mengatur msyarakat yang mampu bersosialisasi sesuai yang di ajarkan dalam al-Qur’an dan assunnah.
Al-Quran sarat dengan uraian tentang hukum-hukum, salah satunya adalah hukum sosial. Kitab Suci ini banyak sekali berbicara tentang masyarakat. Ini disebabkan karena fungsi utama Kitab Suci ini adalah mendorong lahirnya perubahan-perubahan positif dalam masyarakat, atau dalam istilah al-Quran: litukhrija an-nas minazh-zhulumati ilan nur (mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang benderang).
Banyak teori tentang masyarakat yang dirumuskan oleh para pakar, baik pakar islam dan pakar non islam, teori- teori ini mengerucut tenatang bagaimana masyarakat  itu hidup dan bersosialisasi dengan yang lain.



PEMBAHASAN

B.     Masyarakat dalam prespektif al-Qur’an
Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu --kecil atau besar-- yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas, dan hidup bersama. Demikian satu dari sekian banyak definisinya. Ada beberapa kata yang digunakan al-Quran untuk menunjuk kepada masyarakat atau kumpulan manusia. Antara lain: qawm, ummah, syu'ub, dan qabail. Di samping itu, al Quran juga memperkenalkan masyarakat dengan sifat-sifat tertentu, seperti al-mala', al-mustakbirun, al-mustadh'afun, dan lain-lain.[1]
Al-Qur’an banyak sekali berbicara tentang masyarakat. Ini disebabkan karena fungsi utama Kitab Suci ini adalah mendorong lahirnya perubahan-perubahan positif dalam masyarakat. Dengan alasan yang sama, dapat dipahami mengapa Kitab Suci umat Islam ini memperkenalkan sekian banyak hukum-hukum yang berkaitan dengan bangun runtuhnya suatu masyarakat. Dalam al-Qur’an salah satu ayat yang menjelaskan tentang masyarakat adalah surat ar-Ra’du ayat 11:

لَهُ مُعَقِّباتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ ما بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا ما بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذا أَرادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوْءاً فَلا مَرَدَّ لَهُ وَما لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ والٍ
Artinya:“Bagimanusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
Tafsir ayat : pada diri manusia ada malaikat-malaikat yang silih berganti pada malam dan siang hari menjaganya dari bahaya serta mengawasi. Bergantian pula malaikat-malaikat lain untuk mencatat amal baik dan amal buruknya. Jadi ada dua malaikat di sisi kiri dan kanan untuk mencatat amal, yang kanan mencatat amal baik sedangkan malaikat yang kiri mencatat amal buruk. Dan dua malaikat lain yang menjaga dan mengawasinya, yaitu berada pada sisi belakang dan di sisi depan manusia.[2]
Perkataan Allah: “Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“. Pada ayat ini, Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dia tidak akan merubah keadaan suatu kaum sampai mereka melakukan perubahan, baik dari kalangan mereka, atau dari salah seorang mereka karena suatu sebab, sebagaimana Allah merubah keadaan orang-orang yang kalah pada perang Uhud karena sebab sikap berubah yang dilakukan oleh para pemanah, dan contoh-contoh lainnya yang ada dalam syariat. Maksud ayat tersebut bukanlah berarti tidak ada musibah yang turun kepada seseorang kecuali setelah didahului oleh dosa, bahkan bisa saja musibah turun karena dosa yang lain sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya,

وَقَدْ سُئِلَ أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ؟ قَالَ- نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ"
“Apakah kita akan binasa, sedangkan di tengah-tengah kita masih banyak orang yang saleh?” Beliau menjawab, “Ya, jika keburukan banyak terjadi.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Majah).[3]
Secara realitas, yang dapat mengubah keadaan masyarakat adalah pemikiran dan perbuatan. Dua hal inilah yang merupakan pangkal perubahan dan yang meniscayakan adanya  perubahan pada sisi lain, perbuatan/perilaku merupakan buah dari pemahaman (mafâhîm).  Karena itu, mafâhîm itu merupakan pengarah bagi perilaku/perbuatan. Hukum asalnya, mafâhîm itulah yang melahirkan sesuatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau kelompok orang.[4]

C.    Teori ashabiyah ibnu khaldun
Salah satu sumbangan dari Ibnu Khaldun adalah teorinya mengenai Ashabiyah dan perannya dalam pembentukan Negara, kejayaan, dan keruntuhannya.Ashabiyah berasal dari kata ‘ashaba yang berarti kelompok. Secara etimologis ashabiyah berasal dari kata ashaba yang berarti menikat. Secara fungsional ashabiyah menunjuk pada ikatan social budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Selain itu, ashabiyah juga dapat dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok.[5]
Khaldun mengklasifikasikan dari sudut pandang kontrol sosial, menjadi dua tipe: badawah dan hadharah (primitif dan peradaban). Di kalangan masyarakat primitif hubungan darah lebih diutamakan, kontrol sosialnya masih cukup tinggi. Sebaliknya dalam masyarakat berperadaban, kontrol sosial lebih rendah. Teori tersebut dalam sosiologi modern dikembangkan oleh Emile Durkheim dengan istilah solidaritas mekanis (sama dengan badawa) dan solidaritas organis (sama dengan hadharah).[6]
beberapa kutipan ibnu khaldun mengenai fasal tentang ashabiyah antara lain adalah:
1.      “Kekuasaan dan daulah bisa dicapai dengan Ashabiyah”
Menguasai dan mempertahankan mempertahankan daulah hanya dapat dilakukan dengan solidaritas, karena didalamnya terdapat ajakan untuk waspada, kesiagaan untuk perang dan kesediaan setiap orang dalam kelompok itu untuk mengorbankan jiwa dalam mempertahankan temannya.
2.      “Kerajaan yang luas dan memiliki kedaulatan yang kuat adalah yang di dasari agama, baik dengan kenabian maupun seruan kepada kebenaran”.
Kekuasaan diperoleh melalui kemenangan, sedangkan kemenangan di peroleh melalui solidaritas dan keseragaman dalam tujuan, karena itulah hati manusia di satukan dan di seragamkan dengan agama.
3.      “Gerakan keagamaan tanpa solidaritas tidak akan berhasil”
Alasannya adalah, sebagaimana yang telah saya jelaskan, segala sesuatu yang haruslah di dasari oleh ashabiyah(solidaritas). Dalam hadits shahih di jelaskan bahwa “Allah tidak mengutus nabi, kecuali dia berada pada penjagaan kaumnya”. Ketika ini terjadi kepada nabi-nabi yang mana mereka merupakan manusia-manusia mulia dan di beri kelebihan. Bagaimana mungkin manusia biasa bisa menang tanpa adanya solidaritas[7].

D.    Hubungan ayat dan teori
Ayat di atas berbicara tentang manusia dalam keutuhannya, dan dalam kedudukannya sebagai kelompok, bukan sebagai wujud individual. Dapat dipahami demikian, karena pengganti nama pada kata anfusihim (diri-diri mereka) tertuju kepada qawm (kelompok/masyarakat). Ini berarti bahwa seseorang, betapapun hebatnya, tidak dapat melakukan perubahan, kecuali setelah ia mampu mengalirkan arus perubahan kepada sekian banyak orang, yang pada gilirannya menghasilkan gelombang, atau paling sedikit riak-riak perubahan dalam masyarakat.
Ayat di atas juga akan menjadi padu ketika dikaitkan dengan teori Ashabiyah dari ibnu khaldun di mana peran sebagai kelompok atau istilahnya solidaritas antar masyarakat menjadi faktor penting dalam melakukan perubahan. Masyarakat yang mempunyai solidaritas tinggi akan mampu mengalahkan masyarakat yang solidaritasnya rendah. Dalam teori Ashabiyahnya, sepertinya ibnu khaldun ingin memadukan antara agama dengan solidaritas atau Ashabiyah, yaitu efek timbal balik dari keduanya. Di mana kekuatan ashabiyah akan menjadi dahsyat ketika di dasari dengan agama, begitu pula sebaliknya, dakwah keagamaan tidak akan sukses tanpa di dasari konsep Ashabiyah.











PENUTUP

E.     Kesimpulan
                        Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu --kecil atau besar-- yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas, dan hidup bersama. Demikian satu dari sekian banyak definisinya. Dalam Al-qur’an salah satu ayat yang menjelaskan tentang masyarakat adalah surat Ar-ra’du ayat 11:
            Salah satu sumbangan dari Ibnu Khaldun adalah teorinya mengenai Ashabiyah dan perannya dalam pembentukan Negara, kejayaan, dan keruntuhannya. Secara fungsional ashabiyah menunjuk pada ikatan social budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Selain itu, ashabiyah juga dapat dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok. Beberapa kutipan dari teori Ashobiyah ibnu khaldun antara lain: Kekuasaan dan daulah bisa dicapai dengan Ashabiyah, Kerajaan yang luas dan memiliki kedaulatan yang kuat adalah yang di dasari agama, baik dengan kenabian maupun seruan kepada kebenaran, dan Gerakan keagamaan tanpa solidaritas tidak akan berhasil.
            Ayat di atas akan menjadi padu ketika di kaitkan dengan teori Ashabiyah dari ibnu khaldun dimana peran sebagai kelompok atau istilahnya solidaritas antar masyarakat menjadi faktor penting dalam melakukan perubahan. Masyarakat yang mempunyai solidaritas tinggi akan mampu mengalahkan masyarakat yang solidaritasnya rendah.











DAFTAR PUSAKA
Shihab quraish, Wawasan Al-qur’an
Ahmad bin Musthafa Al-maraghi, Tafsir Al-Maraghi, maktabah syamilah
Abu Abdullah  muhammad, Tafsir Al-qurthubi, maktabah syamilah
Zainab, Al-Khudairi, Filasafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Pustaka, 1987
Waliyuddin bin Abdurrahman bin Muhammad ibn khaldun, Muqoddimah ibnu Khaldun, Maktabah waqfiyah,
Ba’ali, Fuad dan Ali Mawardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1989)
http://www.globalmuslim.web.id/2011/06/hakikat-perubahan-tafsir-qs-ar-radu-11.html





[1]Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an,PenerbitMizan,  hal:318
[2]Ahmad bin Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, maktabah syamilah, juz 13 hal: 76-77
[3]Abu Abdullah  Muhammad, Tafsir al-Qurthubi, maktabah syamilah, juz 9 hal: 294
[5]Zainab, Al-Khudairi, Filasafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Pustaka, 1987, hal: 184.
[6] Fuad Ba’ali dan Ali Mawardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta:Pustaka Firdaus, hal: 85.
[7]Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat, Logos Wacana Ilmu 1997, hal:  

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم