Makalah
ISTISHAB
Disusun untuk
memenuhi salah satu tugas
mata kuliah: ushul fiqih
Dosen pengampu: Drs. H. Umar, Lc., M. Ag
DisusunOlehKelompok 9:
1.
M Zainu Nuri (1530110093)
2.
Ahmad Syarifuddin (1530110092)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IQT C)
JURUSAN USHULUDDIN
STAIN KUDUS
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam kehidupan bermasarakat terdapathuku-hukum
yang belumadaketentuannya dalam qurán dan hadits.
Sehingga perlu adanya suatu pemikiran untuk menentukan hukum tersebut
yang berpedoman pada qur’an dan hadits. Salah yang digunakan adalah dengan cara
istishab.
Dalam
ushul fikih, metode-metode yang digunakan para mujtahid untuk menarik atau
menyimpulkan sebuah hukum relatif berjumlah banyak, dan salah satu metode yang
digunakan untuk itu adalah istishab. Oleh karena itu dalam mempelajari Ushul
Fiqih kita perlu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan istishab mulai dari
pengertian, bentuk-bentuk, kaidah-kaidahnya yang mengambil intisari dari
istishab.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian dari istishab?
2.
Apa
saja pembagian istishab?
3.
Apa
saja kaidah-kaidah fiqih yang di timbulkan dari istishab?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PengertianIstishab
Asyaukani
menta’rifkan istishhab yaitu : “Tetapnya sesuatu hukum selama tidak ada yang
mengubahnya”. Jadi, hukum yang telah ditetapkan pada masa yang lalu terus
berlaku sampai ada Dalil lain dan
merubah hukum tersebut. Atau sebaliknya apa yang tidak ditetapkan pada masa
lalu, terus demikian keadaanya sampai ada dalil yang menetapkan hukumnya.
Sedangkan
menurut Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah istishab adalah "Mengukuhkan
berlakunya suatu hukum yang sudah ada, atau menegasikan suatu hukum yang memang
tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang mengubah keadaan tersebut."
Maksudnya adalah, suatu hukum baik dalam bentuk positif maupun negatif, tetap
berlaku selama belum ada yang mengubahnya, dan status keberadaan hukum tersebut
tidak memerlukan dalil lain untuk dapat tetap terus berlaku.[1]
Contoh tentang
Istishhab adalah sebagai berikut :
1.
Apabila
telah jelas adanya pemilikan terhadap sesuatu harta karena adanya bukti terjadinya pemilikan seperti karena
membeli , warisan, hibbah, atau wasiat, maka pemilikan tadi terus berlangsung
sehingga ada bukti-bukti lain yag menunjukkan perpindahan pemilikan pada orang
lain.
2.
Orang
yang hilang tetap dianggap hidup sehingga ada buku atau tanda-tanda lain yang
menunjukkan bahwa dia meninggal dunia.
3.
Seorang
yang telah menikah terus dianggap ada dalam hubungan suami-istri sampai ada
bukti lain bahwa dia mennggal dunia.
Menurut ulama ushul Istishab adalah menetapkan sesuatu menurut
keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan
keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada
masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang
menunjukkan perubahannya.[2]
B.
Pembagian
Istishhab
Para ulama ushul fikih mengemukakan istishab itu terbagi dalam
empat macam, yaitu:
1.
Istishab
Hukm Al-Ibahah Al-Asliyyah (اِسْتِصْحَابُ
حُكْمِ الْاِبَاحَةِ الْاَصْلِيَّةِ)
Maksudnya:
menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama
belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya.Misalnya, seluruh pepohonan yang
ada di hutan merupakan milik bersama umat manusia dan semuanya berhak untuk
memanfaatkannya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan tersebut telah
menjadi milik seseorang. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 29 yang artinya :
هُوَ الذي خلق لكم ما في الارض جميعا.....الاية
“Dia-lah Allah,
yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”(Q.S Al-Baqarah: 29)
2.
Istishab Menurut Akal dan Syara’ Hukumnya
Tetap dan Berlangsung Terus.
Ibnu QayyimAl-Jauziyah, ahli
ushul fikih Hanbali menyebutnya dengan “Wasf al-tsabit li al-hukm hatta
yutsbita khilafahu (sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkan
hukum yang berbeda dengan hukum itu”. Misalnya, hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung
terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu
apakah wudhunya masih ada atau telah batal, maka berdasarkan istishab, wudhunya
dianggap masih ada, karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya
wudhu tersebut, tidak bisa mengalahkan keyakinan seseorang bahwa ia masih dalam
keadaan berwudhu. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW. terhadap
seseorang yang merasa ragu terhadap keutuhan wudhunya. Ketika itu Rasulullah
SAW. menyatakan: “Jika seseorang merasakan sakit perutnya lalu ia ragu
apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali-kali jangan ia keluar
dari mesjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium bau
(kentut)” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)”.
3.
Istishab
Hukum Akal sampai Datangnya Hukum Syar’i
Maksudnya adalah umat manusia tidak dikenakan hukum-hukum syar’i
sebelum datangnya hukum syara’, seperti tidak adanya pembebanan hukum dan
akibat hukumnya terhadap umat manusia sampai datangnya dalil syara’ yang
menentukan hukum. Misalnya, apabila seseorang menggugat (penggugat) orang lain
(tergugat) bahwa ia berutang kepada penggugat sejumlah uang, maka penggugat
berkewajiban untuk menentukan alat-alat bukti atas tuduhannya tersebut. Apabila
ia tidak sanggup, maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah
berutang pada penggugat.
Mayoritas dari pengikut Malik, Syafi’i, Ahmad, dan sebagian ulama
Hanafi berpendapat bahwa istishab dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum
syara’, selama belum ada dalil yang mengubahnya,baik secara qath’i (pasti)
maupun zhanni (relatif). Hukum yang telah ditetapkan itu harus terus berlaku
karena adanya dugaan keras bahwa belum ada perubahan. Di samping itu, mereka
juga beralasan dengan ijma’, karena banyak hukum juz’i (rinci) yang telah
disepakati para ulama fiqih (ijma’) yang didasarkan pada kaidah istishab.
Misalnya, menetapkan wudhu tidak batal karena adanya keraguan terhadap
ketentuan wudhu itu.
4.
Istishab
Hukum yang Ditetapkan berdasarkan Ijma’, tetapi Keberadaan Ijma’ Diperselisihkan
Misalnya, para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa
tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayammum untuk mengerjakan shalat.
Apabila dalam keadaan shalat ia meliha ada air, apakah shalatnya harus
dibatalkan kemudian ia berwudhu atau shalatnya diteruskan.
Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh
membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang menyatakan bahwa shalat itu sah
apabila dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menganggap hukum ijma’ tetap
berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan
shalatnya untuk kemudian berwudhu dan mengulang kembali shalatnya. Akan tetapi,
ulama Hanafiyyah dan Hanabillah mengatakan orang yang melakukan shalat dengan
tayammum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya untuk
kemudian berwudhu dan mengulang shalatnya itu. Mereka tidak menerima ijma’
tentang sahnya shalat orang yang bertayammum sebelum melihat air, karena ijma’
menurut mereka hanya terkait dengan hukum sahnya shalat bagi orang dalam
keadaan ketiadaan air, bukan dalam keadaan tersediannya air.[3]
C.
Kaidah-kaidah
Istishab
Berikut adalah kidah fiqih yang populer dan telah dirumuskan para
ulama tentang istishab:
الْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِالشَّكِّ
Maksudnya: apa
yang ditetapkan dengan suatu yang meyakinkan tidak dapat dihilangkan dengan
suatu yang meragukan.
Selain kaidah di atas, terdapat beberapa kaidah lagi mengenai
istishab, yaitu:
اَلْاَصْلُ
بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ حَتَّى يَثْبُتَ مَا يُغَيِّرُهُ.
Maksudnya: pada
dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan
dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi.
اَلْاَصْلُ
فِى الْاَشْيَاءِ اَلْاِبَاحَةُ.
Maksudnya: pada
dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah
boleh dimanfaatkan.
اَلْاَصْلُ
فِى الذِّمَّةِ اَلْبَرَاءَةُ مِنَ التَّكَالِيْفِ وَالْحُقُوْقِ.
Maksudnya: pada
dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang
menetapkan tanggung jawab orang yang bersangkutan.[4]
Menurut al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Asybah
wa al-Nazhair, kaidah fiqhiyah yang pokok itu didasarkan kepada beberapa hadits
Nabi, di antaranya adalah: 1. Hadits dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim:
إِذَاوَجَدَأَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ شَيْئًا فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ
أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْئًا اَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ اْلَمسْجِدِحَتَّى
يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْيَجِدَرِيْحًا (الحديث.(
Artinya: Bila salah seorang di
antaramu merasakan pada perutnya sesuatu, kemudian ia ragu apakah ada sesuatu
yang keluar dari perutnya itu atau tidak, janganlah ia keluar dari masjid
sampai ia mendengar suara atau mencium bau.
2. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri menurut riwayat Muslim:
اِذَاشَكَّ
اَحَدُكُمْ فِى صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى اَثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا
فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَااسْتَيْقَنَ (الحديث).
Artinya: Apabila salah seorang di antaramu ragu dalam shalatnya
apakah telah tiga rakaat atau empat rakaat, maka hendaklah ia buang apa yang
meragukan dan mengambil apa yang meyakinkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Asyaukani menta’rifkan istishhab yaitu : “Tetapnya sesuatu hukum
selama tidak ada yang mengubahnya”. Jadi, hukum yang telah ditetapkan pada masa
yang lalu terus berlaku sampai ada Dalil
lain dan merubah hukum tersebut. Atau sebaliknya apa yang tidak ditetapkan pada
masa lalu, terus demikian keadaanya sampai ada dalil yang menetapkan hukumnya.
Para ulama ushul fikih mengemukakan istishab itu terbagi dalam
empat macam, yaitu:
1.
Istishab
Hukm Al-Ibahah Al-Asliyyah
2.
Istishab
Menurut Akal dan Syara’ Hukumnya Tetap dan Berlangsung Terus
3.
Istishab
Hukum Akal sampai Datangnya Hukum Syar’i
4.
Istishab
Hukum yang Ditetapkan berdasarkan Ijma’, tetapi Keberadaan Ijma’
Diperselisihkan
Berikut adalah kaidah fiqih yang populer dan telah dirumuskan para
ulama tentang istishab:
الْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِالشَّكِّ
اَلْاَصْلُ
بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ حَتَّى يَثْبُتَ مَا يُغَيِّرُهُ.
اَلْاَصْلُ
فِى الْاَشْيَاءِ اَلْاِبَاحَةُ.
اَلْاَصْلُ
فِى الذِّمَّةِ اَلْبَرَاءَةُ مِنَ التَّكَالِيْفِ وَالْحُقُوْقِ.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi,
Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Umam, Chaerul,
dkk, Ushul Fiqih 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Rahman Dahlan. Ushul
Fiqh, Jakarta: Cetakan pertama. 2010.
[1] Rahman Dahlan,Ushul Fiqh, 2010, hal : 217
[2]Satria Effendi, Ushul Fiqh, Cet. i, Jakarta: Prenada Media,
2005, hal: 159.
[3]Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, Bandung: CV Pustaka Setia,
2000, hal : 147-152
[4]Ibid., hal: 146-147