Kajian Al Hikam : “Bersandarlah
pada Allah Jangan pada amal”
مِنْ عَلاَ مَةِ
اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزَّ
لــَـلِ
“Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa
bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-raja’ (rasa harap kepada
rahmat Allah) di sisi alam yang fana.” Hikam
Ar-raja
adalah istilah khusus dalam terminologi agama, yang bermakna pengharapan kepada
Allah Ta’ala.
Kalimat “wujuudi zalal”, artinya segala wujud yang
akan hancur, alam fana. Menunjukkan seseorang yang hidup di dunia dan masih
terikat oleh alam hawa nafsu dan alam syahwat. Itu semua adalah wujud al-zalal,
wujud yang akan musnah. Seorang mukmin yang kuat tauhidnya, sekalipun masih
hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana, namun harapannya semata
kepada Allah Ta’ala.
Imam Ibnu Athaillah memulai Kalam Hikmat beliau dengan
mengajak kita merenung kepada hakikat amal. Amal bisa dikatakan terbagi kepada
dua jenis, yaitu perbuatan zahir dan amal batin. Beberapa orang boleh saja
melakukan perbuatan zahir yang serupa tetapi suasana hati berhubung dengan
perbuatan zahir itu tidak serupa. Kesan amalan dzahir kepada hati berbeda
antara seorang dengan seorang yang lain. Jika amalan dzahir itu mempengaruhi
suasana hati, maka hati itu dikatakan bersandar kepada amalan dzahir. Begitu
pula ketika amal batin seseorang itu mempengaruhi suasana hati, maka hati itu
dikatakan bersandar kepada amalan batin
Sebagian kaum muslimin mengaitkan kebaikan dengan
kemuliaan hidup di akhirat. Mereka memandang amal salih sebagai tiket untuk memasuki
syurga, juga untuk menjauhkan azab api neraka Keimanan orang yang bersandar
kepada amal sangat lemah, terutamanya mereka yang mencari keuntungan keduniaan
dengan amal mereka. dimana mereka meyakini bahwa sukses tidaknya sesuatu
tergantung dari mereka. Bila berhasil memperoleh sesuatu kebaikan, mereka meyakini
bila keberhasilan itu disebabkan kepandaian dan kehebatan mereka sendiri.
Mereka mudah menjadi ego serta suka menyombong. Begitu pula sebaliknya, apabila
sesuatu itu berlaku di luar jangkaan, mereka cepat naik panik dan gelisah..
Berbeda dengan seorang mukmin yang kuat tauhidnya,
sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana, namun
harapannya semata kepada Allah Ta’ala
Jika
kita berharap akan rahmat-Nya, maka kita tidak akan menggantungkan harapan
kepada amal-amal kita, baik itu besar atau pun kecil. Dan hal yang paling mahal
dalam suluk adalah hati, yaitu apa yang dicarinya dalam hidup. Dunia ini akan
menguji sejauh mana kualitas raja (harap) kita kepada Allah Ta’ala.
Rasulullah
saw. bersabda: “Tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya.” Ditanyakan,
“Sekalipun engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Sekalipun saya, hanya
saja Allah telah memberikan rahmat kepadaku.” – H.R. Bukhari dan Muslim
Orang
yang melakukan amal ibadah itu pasti punya pengharapan kepada Alloh, meminta
kepada Alloh supaya hasil pengharapannya, akan tetapi jangan sampai orang
beramal itu bergantung pada amalnya, karena hakikatnya yang menggerakkan amal
ibadah itu Alloh,. sehingga apabila terjadi kesalahan, seperti, terlanjur
melakukan maksiat, atau meninggalkan ibadah rutinnya, ia merasa putus asa dan
berkurang pengharapannya kepada Alloh. sehingga apabila berkurang pengharapan
kepada rohmat Alloh, maka amalnyapuan akan berkurang dan akhirnya berhenti
beramal.
seharusnya dalam beramal itu semua dikehendaki dan dijalankan oleh Alloh. sedangkan dirikita hanya sebagai media berlakunya Qudrat Alloh.
seharusnya dalam beramal itu semua dikehendaki dan dijalankan oleh Alloh. sedangkan dirikita hanya sebagai media berlakunya Qudrat Alloh.
Kalimat:
Laa ilaha illalloh. yang berarti tidak ada tempat bersandar, berlindung,
berharap kecuali Alloh, tidak ada yang menghidupkan dan mematikan, tidak ada
yang memberi dan menolak melainkan Alloh.
Pada
dasarnya syari’at menyuruh kita berusaha dan beramal. Sedang hakikat syari’at
melarang kita menyandarkan diri pada amal dan usaha itu, supaya tetap bersandar
pada karunia dan rahmat Alloh subhanahu wata’ala.
Apabila
kita dilarang menyekutukan Alloh dengan berhala, batu, kayu, pohon, kuburan, binatang
dan manusia, maka janganlah menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri,
seakan-akan merasa sudah cukup kuat dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan
Allah, tanpa rahmat, taufik, hidayat dan karunia Allah subhanahu wata’ala.