kajian al-hikam pasal 1

Kajian Al Hikam : “Bersandarlah pada Allah Jangan pada amal”

مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزَّ لــَـلِ

“Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-raja’ (rasa harap kepada rahmat Allah) di sisi alam yang fana.” Hikam


Ar-raja adalah istilah khusus dalam terminologi agama, yang bermakna pengharapan kepada Allah Ta’ala.
Kalimat “wujuudi zalal”, artinya segala wujud yang akan hancur, alam fana. Menunjukkan seseorang yang hidup di dunia dan masih terikat oleh alam hawa nafsu dan alam syahwat. Itu semua adalah wujud al-zalal, wujud yang akan musnah. Seorang mukmin yang kuat tauhidnya, sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana, namun harapannya semata kepada Allah Ta’ala.
Imam Ibnu Athaillah memulai Kalam Hikmat beliau dengan mengajak kita merenung kepada hakikat amal. Amal bisa dikatakan terbagi kepada dua jenis, yaitu perbuatan zahir dan amal batin. Beberapa orang boleh saja melakukan perbuatan zahir yang serupa tetapi suasana hati berhubung dengan perbuatan zahir itu tidak serupa. Kesan amalan dzahir kepada hati berbeda antara seorang dengan seorang yang lain. Jika amalan dzahir itu mempengaruhi suasana hati, maka hati itu dikatakan bersandar kepada amalan dzahir. Begitu pula ketika amal batin seseorang itu mempengaruhi suasana hati, maka hati itu dikatakan bersandar kepada amalan batin
Sebagian kaum muslimin mengaitkan kebaikan dengan kemuliaan hidup di akhirat. Mereka memandang amal salih sebagai tiket untuk memasuki syurga, juga untuk menjauhkan azab api neraka Keimanan orang yang bersandar kepada amal sangat lemah, terutamanya mereka yang mencari keuntungan keduniaan dengan amal mereka. dimana mereka meyakini bahwa sukses tidaknya sesuatu tergantung dari mereka. Bila berhasil memperoleh sesuatu kebaikan, mereka meyakini bila keberhasilan itu disebabkan kepandaian dan kehebatan mereka sendiri. Mereka mudah menjadi ego serta suka menyombong. Begitu pula sebaliknya, apabila sesuatu itu berlaku di luar jangkaan, mereka cepat naik panik dan gelisah..
Berbeda dengan seorang mukmin yang kuat tauhidnya, sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana, namun harapannya semata kepada Allah Ta’ala
Jika kita berharap akan rahmat-Nya, maka kita tidak akan menggantungkan harapan kepada amal-amal kita, baik itu besar atau pun kecil. Dan hal yang paling mahal dalam suluk adalah hati, yaitu apa yang dicarinya dalam hidup. Dunia ini akan menguji sejauh mana kualitas raja (harap) kita kepada Allah Ta’ala.
Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya.” Ditanyakan, “Sekalipun engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Sekalipun saya, hanya saja Allah telah memberikan rahmat kepadaku.” – H.R. Bukhari dan Muslim
Orang yang melakukan amal ibadah itu pasti punya pengharapan kepada Alloh, meminta kepada Alloh supaya hasil pengharapannya, akan tetapi jangan sampai orang beramal itu bergantung pada amalnya, karena hakikatnya yang menggerakkan amal ibadah itu Alloh,. sehingga apabila terjadi kesalahan, seperti, terlanjur melakukan maksiat, atau meninggalkan ibadah rutinnya, ia merasa putus asa dan berkurang pengharapannya kepada Alloh. sehingga apabila berkurang pengharapan kepada rohmat Alloh, maka amalnyapuan akan berkurang dan akhirnya berhenti beramal.
seharusnya dalam beramal itu semua dikehendaki dan dijalankan oleh Alloh. sedangkan dirikita hanya sebagai media berlakunya Qudrat Alloh.
Kalimat: Laa ilaha illalloh. yang berarti tidak ada tempat bersandar, berlindung, berharap kecuali Alloh, tidak ada yang menghidupkan dan mematikan, tidak ada yang memberi dan menolak melainkan Alloh.
Pada dasarnya syari’at menyuruh kita berusaha dan beramal. Sedang hakikat syari’at melarang kita menyandarkan diri pada amal dan usaha itu, supaya tetap bersandar pada karunia dan rahmat Alloh subhanahu wata’ala.
Apabila kita dilarang menyekutukan Alloh dengan berhala, batu, kayu, pohon, kuburan, binatang dan manusia, maka janganlah menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri, seakan-akan merasa sudah cukup kuat dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan Allah, tanpa rahmat, taufik, hidayat dan karunia Allah subhanahu wata’ala.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم