Makalah
Tafsir al-Ma’ani li al-Qur’an al-Karim
(bin’ ‘Syathi’)
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Studi Kitab Tafsir II
Dosen pengampu : H. Ahmad Atabik, Lc. M.SI
Oleh:
M Zainu Nuri : 1530110093
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IQT)
JURUSAN USHULUDDIN
STAIN KUDUS
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Metodologi penafsiran yang semakin marak akhir-akhir ini bisa jadi merupakan wujud ketidakpuasan kaum intelektual terhadap beberapa karya klasik. Hal demikian tidak sepenuhnya salah, karena bagaimanapun suatu kondisi akan selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman. Kompleksitas pada waktu dulu jelas berbeda dengan situasi sekarang. Adapun Binti al-Syāthi’, termasuk dari beberapa sarjana Islam yang merasakan hal serupa. Menurutnya, anggapan final terhadap literatur klasik sangatlah tidak tepat, banyak hal yang harus diekplorasi dan diuji lebih lanjut.
Sample kecilnya adalah israiliyyat, dan hadist-hadist yang harus diuji kembali keabsahan matan dan sanadnya. Serta beberapa sikap fanatisme madzhab yang selalu melatar belakangi dalam menafsirkan suatu ayat. Dalam langkah selanjutnya Binti al-Syāthi’ mulai mencoba untuk tampil objektif dalam perspektif penafsiran Kalam Tuhan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan kita bahas lebih dalam lagi mengenai tafsir yang dikarang oleh beliau. Dimulai dari biografi beliau, latar belakang penafsiran, karakteristik, sumber penafsiran, metodologi penafsiran, beserta corak yang ia gunakan dalam penafsirannya, berikut dengan contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
- Biografi ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’
Nama aslinya Bint al-Syāṭi’ adalah ‘A’isyah ‘Abd ar-Rahman. Bint al- Syāṭi’ Lahir di Dumyath, sebelah barat Delta Nil, tanggal 6 November 1913. Bint al-Syāṭi’ lahir di tengah-tengah keluarga muslim yang saleh dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahman dan Farida Abdussalam Muntasyir. Ayahnya, ‘Abd ar-Rahman, adalah tokoh sufi dan guru teologi di Dumyat. 1 Pendidikan Bint al- Syāṭi’ dimulai ketika berumur lima tahun, yaitu dengan belajar membaca dan menulis Arab pada syaikh Mursi di Shubra Bakhum, tempat asal ayahnya. Selanjutnya, ia masuk sekolah dasar untuk belajar gramatika bahasa Arab dan dasar-dasar kepercayaan Islam, di Dumyat. Setelah menjalani pendidikan lanjutan, pada 1939 ia berhasil meraih jenjang Licence (Lc) jurusan sastra dan bahasa Arab, di Universitas Fuad I, Kairo. Dua tahun kemudian Bint al-Syāṭi’ menyelesaikan jenjang Master, dan pada 1950 meraih gelar doktor pada bidang serta lembaga yang sama pula, dengan disertasi berjudul al-Gufran li Abu al-A’la al-Ma’ari.1
‘Aisyah Abd al-Rahman yang dikenal luas dengan nama samarannya, Bint al-Syathi’ pada era modern telah mengukuhkan dirinya, karena studinya mengenai sastra dan tafsir Al-Qur’an. Bint al-Syathi’ memulai meniti karirnya sebagai guru pada sekolah ibtidâiyah di al-Mansurah, sekitar tahun 1929. kemudian pada tahun 1932, dia ditransfer ke suatu perguruan tinggi oleh penyedia pengajaran Kementerian Pendidikan untuk mengelola laboratorium bahasa Inggris dan Francis. Selain menekuni dunia pendidikan, ia juga aktif menulis pada berbagai media massa bahkan ia pernah menjadi editor surat kabar. Karir jurnalistiknya berawal ketika ia masih belajar di sekolah menengah pertama. Pada tahun 1933, ia dinobatkan sebagai editor utama Majallah al-Nahdhah al-Nisâiyah, di samping itu ia aktif pula menulis di surat kabar terkemuka Mesir, al-Ahrâm. Kendatipun demikian, hal itu sama sekali tidak mempengaruhi karir akademiknya.
Pada tahun 1939 Bint al-Syathi’ menjadi asisten dosen di Universitas Cairo. Tiga tahun kemudian, yakni pada tahun 1942, dia menjadi inspektur Bahasa dan Sastra Arab pada Kementerian Pendidikan, dan pada tahun yang sama dia dipercayakan menjadi editor pada majalah terkemuka di Mesir, al-Ahrâm. Sejak tahun 1950-1957, dia bekerja sebagai dosen bahasa Arab di Universitas ‘Ayn Shams. Pada tahun 1957-1962, ia menjadi asisten profesor sastra Arab pada universitas yang sama, pada tahun 1962 dia menjadi professor, dan pada tahun 1967 dia dikukuhkan menjadi Profesor dalam bidang Bahasa dan Sastra Arab di Universitas ‘Ayn Syams. Sejak itulah ia menjabat Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab pada Universitas ‘Ayn
Syams, Mesir dan kadang-kadang menjadi Guru Besar Tamu pada Universitas Islam Umm Durman, Sudan. Di samping itu ia adalah salah seorang Guru Besar Tamu Pada Universitas Qarawiyyin, Maroko. Pada setiap kesempatan dalam memberi kuliah dan konfe-rensi pada tahun 60-an, ia telah berbicara di hadapan para sarjana di Roma, Aljazair, New Delhi, Bagadad, Kuwait, Yerussalam, Rabat, Fez, Khartoum, dan lain-lain.2
Minatnya terhadap kajian tafsir dimulai sejak pertemuannya dengan Prof. Amin al-Khuli, seorang pakar tafsir yang kemudian menjadi suaminya. Ketika ia bekerja di Universitas Kairo. Dari sini, Binti al-Syāthi’ mendalami tafsir dan menulis buku tafsirnya yang terkenal dengan al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim yang diterbitkan pada 1962. Dan pada 1998, Binti al-Syāthi’ telah meninggalkan segalanya, namun nama dan karya beliau masih terekam rapi dalam khazanah keilmuan Islam.
Bint al-Syāṭi’ tidak menafsirkan al-Qur`an secara keseluruhan ia hanya menafsirkan surat-surat pendek saja seperti surah al-Duha, surah Alam Nasyrah, surah az-Zalzalah, surah an-Nazi`at, surah al-Adiyat, surah al-Balad, surah, at-Takatsur.
- Metode Penafsiran
Metode tafsir yang digunakan ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ merupakan metode untuk memahami al-Qur’an secara objektif. Menurutnya, metode ini diambil dan dikembangkan dari prinsip-prinsip metode penafsiran Amin al-Khulli (1895-1966) yang terdiri dari empat langkah:
- Mengumpulkan unsur- unsur tematik secara keseluruhan yang ada di beberapa surat. Untuk dipelajari secara tematik. Dalam tafsir ini beliau tidak memakai metode kajian tematik murni seperti itu. Namun dengan pengembangan induktif (istiqra’i). Mula- mula beliau gambarkan ruh sastra tematik secara umum. Kemudian merincinya per-ayat. Akan tetapi perincian ini berbeda dengan perincian yang digunakan dalam kajian tafsir tahlily (analitik) yang cenderung menggunakan maqtha’ (pemberhentian tematik dalam satu surat). Di sini beliau membuka dengan kupasan bahasa dalam ayat itu kemudian dibandingkan dengan berbagai ayat yang memiliki kesamaan gaya bahasa. Kadang menyebut jumlah kata, adakalanya memberikan kesamaan dan perbedaan dalam penggnaannya, terakhir beliau simpulkan korelasi antara gaya bahasa tersebut
- Memahami beberapa hal di sekitar nash yang ada. Seperti mengkaji ayat sesuai turunnya. Untuk mengetahui kondisi waktu dan lingkungan diturunkannya ayat-ayat al-Qur’an pada waktu itu. Dikorelasikan dengan studi asbab al-Nuzul. Meskipun beliau tetap menegaskan kaidah al-Ibrah Bi ’Umum al-Lafadz La Bi al-Khusus al-Sabab (kesimpulan yang diambil menggunakan keumuman lafadz bukan dengan kekhususan sebab- sebab turun ayat).
- Memahami dalalah al-Lafadz. Maksudnya, indikasi makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz al-Qur’an, apakah dipahami sebagaimana dhahirnya ataukah mengandung arti majaz dengan berbagai macam klasifikasinya. Kemudian di tadabburi dengan hubungan-hubungan kalimat khusus dalam satu surat. Setelah itu mengkorelasikannya dengan hubungan kalimat secara umum dalam al-Qur’an.
- Memahami rahasia ta’bir dalam al-Qur’an. Hal ini sebagai klimaks kajian sastra, dengan mengungkap keindahan, pemilihan kata, beberapa pentakwilan yang ada di beberapa buku tafsir yang mu’tamad tanpa mengkesampingkan kajian gramatikal arab (i’rab) dan kajian balaghahnya3
Menurut ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’, metodenya dimaksudkan untuk mendobrak metode klasik yang menafsirkan al-Qur’an secara tartil, dari ayat ke ayat secara berurutan, karena metode klasik ini setidaknya mengandung dua kelemahan: pertama, memperlakukan ayat secara individual yang terlepas dari konteks umumnya sebagai kesatuan, padahal al-Qur’an adalah satu kesatuan yang utuh, di mana ayat dan surat yang satu dengan yang lainnya saling terkait, dan; kedua, kemungkinan masuknya ide mufassir sendiri yang tidak sesuai dengan maksud ayat yang sebenarnya.
Kritik ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ terhadap metode tafsir klasik ini bukan tidak beralasan. Kenyataannya, setelah Tafsir al-Thabari, kitab-kitab tafsir senantiasa memiliki corak tertentu yang bisa dirasakan secara jelas bahwa penulisannya “memaksakan sesuatu pada al-Qur’an”, bisa berupa paham akidah, fiqh, tasawuf, atau setidaknya aliran kaidah bahasa tertentu. Hal ini bisa dilihat, misalnya pada tafsir al-Kasysyaf, karya Az-Zamakhsyari (1074-1143), Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawi (w. 1388), atau Bahr al-Muhith karya Abu Hayyan (1344).4
- Corak Penafsiran al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim
Corak yang digunakan dalam tafsir ini yakni corak adabi, yang mana ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ dalam menafsirkan Al-Quran menggunakan metode analisa bahasa & munasabah antar ayat dan surat.
Selain karakteristik diatas, Tafsir ‘Ā’isya Binti al-Syāthi’ tidak luput dari empat prinsip penafsiran yakni:
- menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, yang berpegang pada prinsip al-Qur’ân yufassiru ba’duhu ba’dl, bahwa ayat-ayat al-Qur’an menafsirkan sebagian lainnya.
- Prinsip munâsabah antar ayat maupun antar surat.
- Ibrah itu hanya memuat pada bunyi teks, bukan dengan asbâb al-Nuzûl (al-ibrah bi ‘umûm al-lafdzi lâ bi khusûs al-sabab), kecuali untuk lafadz yang menunjukkan khusus.
- Prinsip bahwa kata-kata dalam al-Qur’an tidak ada sinonim.
- Kelebihan dan kelemahan tafsir al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim
- Keistimewaan
Analisa teks yang beliau terapkan dalam tafsirnya, banyak diikuti oleh penafsir-penafsir saat ini. Metode ini lebih relevan dan realistis untuk diterapkan, karena di samping lebih tepat dengan kondisi sosial masyarakat saat ini, juga dapat memahami gagasan dalam al-Qur’an secara utuh (tidak parsial). Dalam tafsirnya, beliau kerap kali menyebutkan komentar-komentar beberapa Ulama zaman dahulu seputar analisa teks mereka, kemudian memberikan koreksi dan pembenaran. Terutama dalam pembahasan diksi dalam al-Qur’an. Ayat-ayat yang setema disusun berdasarkan kronologi pewahyuannya.
- Kelemahan
Bint al-Syāṭi’ kurang konsisten dengan metode penafsiran yang ditawarkan, yakni mengkaji tema tertentu, melainkan lebih pada analisis semantik. Kenyataannya, ketika Bint al-Syāṭi’ menafsirkan ayat-ayat pendek, ia mengumpulkan lafaz-lafaz yang serupa dengan lafaz yang ditafsirkan, kemudian menganalisis dari sisi bahasa (semantik). Di sinilah Bint al-Syāṭi’ banyak menuai kritik karena tidak konsisten dengan metode yang dikemukakannya. Dengan demikian, meskipun metode tematik yang ditawarkan sangat bagus dan kompleks, ia tidak dianggap sebagai pencetus metode tematik.5
- Contoh penafsiran
Tafsir surat al-Naziâat ayat 1-5 sebagai berikut:
“Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut, dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang, dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan dunia.”
Surat ini termasuk surat Makkiyah akhir. Surat ke-81 menurut tartib nuzul dan turun seetelah surat an Nabaâ. Surat ini dawali dengan wawu qasam yang diikuti dengan lima sifat berturut-turut dalam lima ayat. Perselisihan pendapat memanjang terutama tentang pengertian karena kata tersebut ada di awal surat. Kemudian setiap pendapat menentukan pengarahan ayat-ayat sesudahnya, dengan keinginan dalam keadaan bagaimanapun untuk menjelaskan keagungan al-Naziâat karena datang sesudah wawu qasam. Diantara pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para mufasir, pendapat yang paling masyhur adalah malaikat-malaikat yang mencabut nyawa anak Adam. Itu merupakan salah satu dari tiga pendapat yang dipilih Al-Zamakhsyari. Dua pendapat lainnya adalah bintang-bintang dan kuda-kuda para penakluk. Sedangkan Al-Raghib menafsirkannya sebagai malaikat-malaikat atau angin.
Setidaknya ada Sembilan pendapat yang di kemukakan bin’ syati” dalam tafsirnya,diantaranya adalah :
- Malaikat-malaikat yang mencabut ruh anak Adam (Abdullah dan ibn Abbas)
- Bintang-bintang yang keluar dari ufuk ke ufuk (Abu Ubaidah)
- Kuda perang (seperti dalam al-Kassyaf)
Kemudian Bintusy Syathi’ lebih memilih menafsirkan kata al-Nazi’at dengan kuda yang menyerang. Penafsirannya ini dilandasi oleh sebuah argumentasi dengan menelaah surah-surah yang dibuka dengan waw qasam dimana Alquran lebih banyak menggunakan ungkapan-ungkapan material dan terindra serta realistik, bahkan dapat dilihat. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa ayat dalam surah makkiyah ad-Dhuha, al-Asr, at-Tin, al-Adiyat, al-Fajr.
Bint syati lebih rinci menjelaskan :
ونحن أكثر اطمئنانا الى تفسير النازعات بالخيل المغيرة دون تحديد لها بخيل الغزاة كما قال الزمخشرى وغيره من المفسرين متأثرين بنزعة التعظيم فى القسم بها, فما كان للمسلمين فى العهد المكي خيل تغزو, ولا كان هناك دار سالم ودار حرب يخرج الغزاة منها واليها, والقول بان هذا سوف يكون بعد الهجرة, لا مجال له هنا مع هذا اللفت الى واقع مشهود, توطئة لالقناع بغيب يمارون فيه.
”Kami (saya) merasa lebih puas menafsirkan kata al-Nazi’at dengan kuda yang menyerang, tanpa membatasinya dengan kuda para penakluk, sebagaimana dikatakan oleh Al-Zamakhsyari dan para pakar tafsir lain yang terpengaruh arus kebesaran qasamnya. Sebab orang-orang Muslim pada periode Makkah tidak mempunyai kuda-kuda penyerang, dan disana tak ada kawasan damai dan kawasan perang. Para penakluk pergi dan datang begitu saja. Pendapat demikian akan terjadi sesudah hijrah, tidak ada tempat baginya, bersama penarikan perhatian kepada realitas yang disaksikan, sebagai rintisan kepada kepuasan atas kegaiban yang mereka ragukan”6
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa ‘Aisyah Abdurrahaman Binti al-Syāthi’ merupakan seorang interpreteur yang berhasil membawa pembaharuan dalam dunia Tafsir. Beliau dengan sangat berani mengkritisi karya beberapa ulama dahulu, serta mampu memaparkan berbagai argumentasinya sebagai wujud dari sebuah pembelaan. Dari berbagai metodologi Binti al-Syāthi’ berusaha tampil maksimal, sampailah pada akhirnya kepada mekanisme ta'wil.
Apapun pendekatan yang dipakai, sejatinya hanyalah sebuah piranti untuk membongkar Kalam Tuhan yang masih menjadi sebuah pertanyaan besar bagi umat Islam khususnya. Kemampuan manusia yang serba terbatas menurut beliau tidaklah mampu menemukan kebenaran hakiki, hal seperti itulah yang patut disadari. Terlebih al-Qur'an mencakup berita-berita gaib serta kisah-kisah terdahulu yang cukup sulit untuk dijangkau. Hal inilah yang menurut Binti al-Syāthi’ sebagai kebenaran nisbi, bukan sebagai kebenaran mutlak.
Menelusuri pemikiran dan jejak Binti al-Syāthi’ ketika berbaur dengan ayat-ayat Tuhan dibutuhkan nuansa kesastraan yang tinggi, karena bahasa dan retorika penyampaiannya tak lepas dari aroma sastra yang sangat kental. Langkah selanjutnya, bagaimanapun pemikiran seorang tokoh layak diapresiasi, tentunya dengan melepaskan karat-karat ideologi untuk selalu bersikap objektif.
DAFTAR PUSTAKA
Muhamad Amin, makna pengulangan `usr dan yusr menurut bint al-syāṭi’ (kajian linguistik bint al-syāṭi’ ` tentang surat al-insyirah ayat 5-6). Undergraduate thesis, stain kudus
Ridwan, Metode al-Qur’an dan Tafsir bint’ Syathi’, jurnal ilmu qur’an tafsir IAIN Salatiga
al-Syāthi’, ‘Ā’isya Abdurahman Binti. al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, Maktabah waqfiyah
Wahyuddin, Corak dan metode interpretasi Aisyah abdurrahman bint al-syâthi’. Jurnal Al- Ulum IAIN Antasari Banjarmasin, Vol. 11, Nomor 1, Juni 2011