Jika kita adalah orang yang pemaaf,
mungkin kita hanya pemaaf kepada orang yang kita kenal. Sifat kepemaafan kita
tidak dengan sendirinya memiliki implikasi kepada semua orang. Pada mereka yang
tidak kita kenal atau tidak pernah menyampaikan permohonan maaf kepada kita,
sifat pemaaf kita tentu tidak relevan.
Meskipun Allah bisa saja memaafkan
kesalahan-kesalahan kita tanpa adanya taubat dari kita (karena Allah maha
pemaaf). Namun, layakkah kita menerima maaf itu saat kita sendiri enggan
meminta maaf dan bertaubat?. Tentu kita adalah orang yang dzalim.
Dan
barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. –
Q.S. Al-Hujuraat [49]: 11
Karena itulah saat kita terlanjur melakukan
kesalahan maupun dosa-dosa, kewajiban kita adalah sesegera mungkin bertaubat
dan kembali kepada-Nya
lalu kapan kita harus memulai
taubat? Banyak diantara kita sudah merasa melakukan
suatu dosa atau mungkin meyakini kita telah berlumur dosa, namun kita tetap
saja masih saja menunda-nunda untuk bertaubat dengan alasan-alasan aneh.
Mungkin diantaranya:
1.
Masih
menggandrungi perbuatan dosa tersebut, bahkan merasa nyaman, enak, dan bangga
dengannya,
2.
Menganggap
remeh perbuatan dosa
3.
Khawatir
jika sudah bertaubat pun akan terjebak dalam dosa yang sama, jadi taubatnya
nanti saja, kalau merasa benar-benar sudah mampu meninggalkannya 100%, dll
Padahal sikap menunda-nunda
seperti ini justru menimbulkan dosa tersendiri karena kewajiban bertaubat
adalah ala al-faur (bersegera),
Bertaubat dengan
segera merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan dan tidak boleh ditunda.
Setiap kali seorang hamba menunda taubat, berarti ia telah berbuat maksiat
kepada Allah. Kemudian saat dia bertaubat, dia hanya berfikir untuk bertaubat
dari dosa yang dilakukannya. Jarang sekali hal ini terlintas dalam pikiran
orang yang bertaubat, bahkan menurutnya, apabila sudah bertaubat dari dosa ia
lakukan, berarti tidak ada lagi kewajiban lain yang harus ia laksanakan, yaitu bertaubat dari perbuatan menunda-nundanya
taubatnya.
Jadi, segeralah
kita bertaubat…
Lalu bagaimana
jika setelah kita bertaubat kita melakukan kesalahan lagi? Bukankah taubat kita
sia-sia?
Mengenai hal
ini, cobalah kita renungkan dalam hadits berikut. Dari Abu Huroiroh, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang diceritakan dari Rabbnya ‘azza wa
jalla,
أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِى ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ
. ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَىْ رَبِّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَبْدِى أَذْنَبَ ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ.
ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَىْ رَبِّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِى ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ
“Ada seorang hamba yang
berbuat dosa lalu dia mengatakan ‘Allahummagfirliy dzanbiy’ [Ya Allah,
ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia
mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap
perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut
mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’
[Wahai Rabb, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat
dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi
setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba
tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli
dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah
berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa
dan menghukumi setiap perbuatan dosa. Beramallah sesukamu, sungguh engkau telah
diampuni.”( HR. Muslim no. 2758).
An Nawawi dalam
Syarh Muslim mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘beramallah sesukamu’
adalah selama engkau berbuat dosa lalu bertaubat, maka Allah akan mengampunimu.
An Nawawi
mengatakan, ”Seandainya seseorang berulang kali melakukan dosa hingga 100 kali,
1000 kali atau lebih, lalu ia bertaubat setiap kali berbuat dosa, maka pasti
Allah akan menerima taubatnya setiap kali ia bertaubat, dosa-dosanya pun akan
gugur. Seandainya ia bertaubat dengan sekali taubat saja setelah ia melakukan
semua dosa tadi, taubatnya pun sah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/75). teks aslinya seperti berikut :
هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تَقَدَّمَتْ فِي أَوَّلِ كِتَابِ التَّوْبَةِ وَهَذِهِ الْأَحَادِيثُ ظَاهِرَةٌ فِي الدَّلَالَةِ لَهَا وَأَنَّهُ لَوْ تَكَرَّرَ الذَّنْبُ مِائَةَ مَرَّةٍ أَوْ أَلْفَ مَرَّةٍ أَوْ أَكْثَرَ وَتَابَ فِي كُلِّ مَرَّةٍ قُبِلَتْ تَوْبَتُهُ وَسَقَطَتْ ذُنُوبُهُ وَلَوْ تَابَ عَنِ الْجَمِيعِ تَوْبَةً وَاحِدَةً بَعْدَ جَمِيعِهَا صَحَّتْ تَوْبَتُهُ
Hadits ini bukanlah dalil bagi seseorang untuk menunda-nunda taubat, atau meremehkan urusan dosa. Tapi ini fenomena yang bisa terjadi pada seseorang. Dan bila itu terjadi, ia tidak boleh berhenti bertaubat, selama hayat masih dikandung badan.
Al-Qurthubi
menjelaskan, “pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini adalah: kembali
berbuat dosa adalah lebih buruk dari ketika pertama kali melakukan dosa itu,
karena dengan kembali berdosa itu, ia berarti melanggar taubatnya. Tapi,
kembali melakukan taubat adalah lebih baik dari taubatnya yang pertama, karena
ia berarti terus meminta kepada Alloh Yang Maha Pemurah, terus meminta
kepada-Nya, dan mengakui bahwa tidak ada yang dapat memberikan taubat selain
Alloh…,” (lihat Fathul Bari: 14/471)
Hadits ini juga
bukanlah izin untuk mengulangi dosa lagi. Oleh karena itu, setiap orang tetap
harus hati-hati dalam berbuat dosa supaya mendapatkan ampunan Allah. Karena
setiap hamba tidaklah tahu kapan ia bisa beristighfar dan bertaubat lagi. Boleh
jadi ia tidak sempat melakukannya karena maut ternyata lebih dulu menghampiri. Jangan Salah Paham dengan Syarat Taubat!
Lalu bagaimana
agar taubat diterima? Coba perhatikan kutipan berikut :
قال العلماء: التوبة واجبة من كل ذنب، فإن كانت المعصية بين العبد وبين الله تعالى لا تتعلق بحق آدمى، فلها ثلاثة شروط:
أحدها : أن يقلع عن المعصية.
والثانى: أن يندم على فعلها.
والثالث: أن يعزم أن لا يعود إليها أبداً. فإن فُقد أحد الثلاثة لم تصح توبته.
وإن كانت المعصية تتعلق بآدمى فشروطها أربعة: هذه الثلاثة، وأن يبرأ من حق صاحبها، فإن كانت مالاً أو نحوه رده إليه، وإن كانت حد قذف ونحوه مكنه منه أو طلب عفوه، وإن كانت غيبة استحله منها. ويجب أن يتوب من جميع الذنوب ، فإن تاب من بعضها صحت توبته عند أهل الحق من ذلك الذنب، وبقى عليه الباقى. وقد تظاهرت دلائل الكتاب، والسنة، وإجماع الأمة على وجوب التوبة:
Para alim-ulama berkata:
"Mengerjakan taubat itu
hukumnya wajib dari segala macam dosa. Jikalau kemaksiatan itu terjadi antara
seseorang hamba dan antara Allah Ta'ala saja, yakni tidak ada hubungannya
dengan hak seseorang manusia yang lain, maka untuk
bertaubat itu harus menetapi tiga macam syarat, iaitu: Pertama
hendaklah menghentikan sama sekali-seketika itu juga -dari kemaksiatan yang
dilakukan, kedua ialah supaya merasa menyesal kerana telah melakukan
kemaksiatan tadi dan ketiga supaya berniat tidak akan kembali mengulangi
perbuatan maksiat itu untuk selama-lamanya. Jikalau salah satu dari tiga syarat
tersebut di atas itu ada yang ketinggalan maka tidak sahlah taubatnya.